Minggu, 10 Oktober 2010

Sate Klatak: Ditusuk dengan Jeruji Sepeda

Berburu sate kambing di Yogyakarta serasa tak afdal jika belum merasakan kenikmatan sekaligus keunikan sate klatak. Jenis sate kambing yang satu ini telah menjadi ikon sate di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Apanya yang unik?

Lokasinya tak menempati bangunan permanen dengan dinding beton yang kokoh. Bukan pula di bawah naungan tenda atau warung berdinding kayu. Tapi cuma nunut di salah satu los pasar tradisional, tepatnya di Pasar Jejeran, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul. Tanpa dinding tentunya.

Tak ayal lagi, warung sate klatak hanya buka malam mulai pukul 18.30 WIB hingga larut, lantaran harus menunggu pedagang-pedagang pasar hengkang meninggalkan lokasi jualan mereka. Setelah itulah, penjual sate klatak, Muhammad Sabari, 57 tahun, akan menggelar dagangannya berupa pikulan yang berisi kuali tempat kuah sate di lantai los pasar yang memanjang.

Jika ingin duduk bersantap sembari melihat Sabari mengolah satenya, para pembeli disediakan lincak atau bangku panjang dari bambu. Namun, apabila ingin duduk lesehan, disediakan tikar. Terlihat agak merepotkan karena pembeli harus berjubel dengan tumpukan barang dan lemari milik pedagang pasar yang sengaja tak dibawa pulang.

Bumbunya pun tak kalah unik. Tak harus repot-repot meracik bumbu, Bari hanya menyediakan garam. Garam, yang asin, saat dicampur pada sate yang masih panas akan membuat rasanya menjadi gurih.

"Garam kan bumbu yang biasa dipakai memasak sejak zaman Majapahit," demikian dalih Sabari kepada Tempo.

Sebagai pemanis hidangan, Sabari akan menambah sajian dengan irisan tomat, mentimun, dan daun kol. Dalam semalam, Sabari bisa menyediakan sekitar 15 kilogram daging kambing muda. Sebelumnya, Sabari mengambil kambing muda dari pengepul yang berasal dari Kecamatan Piyungan, Bantul, dan terkadang dari Kota Batu, Jawa Timur. Sepuluh ekor kambing muda bisa dipergunakannya dalam satu minggu.

Satu hal yang menjadi ciri khas sate klatak adalah alat tusuknya, yang lain dari yang lain. Alat tusuknya bukan bilah bambu yang diruncingkan bagian ujungnya laiknya sate kambing, melainkan jeruji sepeda, yang panjangnya sekitar 30 sentimeter. Daging kambing muda yang diiris sebesar ibu jari orang dewasa itu akan ditusuk menggunakan jeruji sepeda, dibumbui garam, lalu dibakar. Tak mengherankan jika Sabari mempunyai lebih dari 200 koleksi jeruji sepeda. Agar tidak karatan, jeruji tersebut digosok menggunakan pasir setelah dipakai.

"Rasanya kok enggak pernah kehabisan (jeruji), ya, ada saja yang masok," kata Sabari.
Harganya relatif murah. Satu porsi sate klatak akan disajikan dengan dua jeruji sepeda seharga Rp 10 ribu. Adapun temannya adalah segelas teh panas yang diberi pemanis dari gula batu dan sepiring nasi. Sehingga total satu orang cukup merogoh kocek Rp 12 ribu.

Sate klatak adalah usaha keluarga secara turun-temurun. Bermula pada masa kakek Sabari, yang bernama Ambyah, yang memulai usahanya di bawah pohon waru pada 1946. Meski demikian, tak banyak yang Sabari tahu, mengapa sate dengan tusukan jeruji sepeda itu disebut sate klatak.

"Mungkin karena ada bunyi 'klatak klatak' ketika daging dibakar," kata Sabari.
Lantaran keunikan bentuk, tempat, juga rasanya, sate klatak sering menjadi jujugan para seniman Yogyakarta untuk menghabiskan sisa malam. Sebut saja rombongan keluarga Butet Kertaradjasa, yang kerap ke sana.

"Meski besar-besar, dagingnya matang, mungkin karena dibakar pakai jeruji sepeda," kata penikmat sate klatak, Bambang Muryanto, Kamis lalu.

Bambang merupakan satu dari sekian penggemar sate kambing. Khusus sate klatak, dia selalu menyediakan waktu minimal sekali dalam satu bulan untuk menikmatinya.



Sumber : tempointeraktif
marzano, loewy, table8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar