Kamis, 02 September 2010

Soto Betawi Haji Acep

Rajanya Soto Mie..

Orang mengenalnya sebagai Soto Mie Wahid Hasyim. Itu lebih karena letaknya di bawah pohon sengon di pinggir Jalan Wahid Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Nama sebenarnya tempat makan itu adalah Soto Bening Betawi Haji Acep.
Ketika ke tempat itu Selasa (14/10) lalu, kami tidak menemukan warung tersebut. Di bawah pohon sengon besar di kiri jalan dari arah Sarinah menuju Tanah Abang tidak tampak warung soto mie. Ternyata, sejak 11 Oktober lalu, warung itu pindah ke sebuah bangunan kecil di Jalan Kebon Kacang XI, sekitar 200 meter dari Jalan Wahid Hasyim.

Teman saya yang sudah kelaparan langsung pesan semangkuk soto mie, plus dua potong paru goreng, risol, serta tahu isi begitu kami sampai di lokasi baru warung itu. Semangkuk soto mie harganya Rp 10.000.

Soto mie ini berkuah bening dan tampak tidak berlemak. Isinya emping, bihun, mie putih yang lembut, daging sapi, daun seledri, kol, lobak, dan perkedel kentang. Rasanya, heemm.... segar dan sedap. Bihun dan mie terasa padu, lembut.

Haji Acep juga menyediakan sejumlah makanan pelengkap yang bisa dicemplungkan ke dalam soto mie, antara lain, risol, tahu isi, paru goreng, babat, serta daging sapi goreng. Risolnya berkulit tebal tapi tidak alot. Isinya kentang, wortel, serta daging sapi cincang. Begitu dimasukan ke dalam mangkuk soto, risol tersebut memberi nuansa gurih.

Bagaimana bisa kaldu sotonya tampak bening dan tak berlemak? Haji Acep sedikit membuka rahasia. Katanya, "Kalau merebus daging, begitu lemaknya mulai berbuih ketika mendidih, lemak itu langsung dibuang. Jangan sampai pecah, pokoknya ketika masih berbuih. Maka, kaldunya jadi bening dan tidak berlemak."

Soal perpindahan, Haji Acep berkisah, ia aslinya orang Bogor, Jawa Barat. Setelah putus dari Sekolah Rakyat (SR) ia merantau ke Jakarta. Sejak tahun 1969, ia berdagang soto pikulan dengan rute Kampung Bali-Wahid Hasyim. Tahun 1986, ia lalu menetap di kaki lima Jalan Wahid Hasyim. Boen, pemilik rumah di belakang warung kaki lima Acep, menawarkan untuk berdagang di halaman rumahnya. "Lu dagang di sini aja sampe mati. Jaga keamanan, jaga kebersihan," kata Acep menirukan ajakan Boen.

Ia menurut. Tahun 2003, Boen meninggal. Keluarga Boen lalu menjual rumah itu. Begitu rumah laku, Acep diminta cari lakosi baru untuk berdagang.

Setelah survei ke beberapa tempat, Haji Acep memutuskan menyewa di Kebon Kacang XI. Di lokasi baru itu, pelanggan bermobil akan kesulitan tempat parkir. Soalnya, Kebon Kacang XI merupakan jalan dua arah yang sempit namun cukup ramai. Kalau ada mobil parkir, jalan akan langsung tersumbat. Jejaring gang di kawasan itu pun akan macet.

"Padahal pelanggan banyak yang datang pakai mobil. Mau bagaimana lagi, beginilah kondisinya," kata Acep.

Sumber : jalanasik.com

Lihat Juga :
Sate
Seafood

Tidak ada komentar:

Posting Komentar