Ide pencanangan ‘One Day No Rice’ mendapat tanggapan beragam dari berbagai pihak. Apakah benar gerakan ini bisa membuat konsumsi beras berkurang? Apa saja yang bisa dilakukan untuk membuat pangan lokal lebih berdaya?
Hari pangan sedunia diperingati 16 Oktober 2010 dengan sejumlah kegiatan di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Gerakan ‘One Day No Rice’ atau Hari Tanpa Nasi menjadi fokus peringatan hari pangan tahun ini.
Jika kampanye ini bisa sukses dilakukan setiap satu bulan satu hari saja, maka konsumsi beras nasional per tahun bisa dihemat hingga 1,2 juta ton.
“Jadi kalau ada 1 free rice day saja per bulan, akan mengurangi tekanan permintaan 1,2 juta ton per tahun,” kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi. Bayu menuturkan konsumsi beras per kapita orang Indonesia masih yang tertinggi di dunia yang mencapai 139 kg/kapita/tahun.
Namun, Tuti Soenardi, seorang pakar gizi kuliner yang sudah berpuluh tahun menggeluti program penganekaragaman pangan memiliki pendapat berbeda. “Orang Indonesia tidak bisa berpisah dengan nasi,” katanya.
“Yang bisa dilakukan adalah substitusi dengan pangan lokal. Misalnya, nasi dicampur dengan jagung, atau nasi dengan singkong,” demikian sarannya. Namun, gerakan substitusi pangan lokal ini juga harus dipersiapkan dengan matang.
“Berarti pemerintah harus menjamin ketersediaan tepung singkong, jagung, beras aro, ganyong dan beragam produk pangan lokal lainnya dengan harga murah dan mudah didapat,” tegas ahli gizi kuliner ini.
Tuti Soenardi juga mengusulkan agar substitusi pangan tidak hanya untuk makanan utama saja tetapi hingga ke kue-kue tradisional atau jajanan lokal.
“Jika 10 persen dari bahan kue-kue diganti dengan produk lokal maka akan banyak biaya bisa dihemat.” demikian imbuhnya.
Hal penting yang perlu diwaspadai adalah menurunnya ketersediaan pangan secara global. Produksi gandum dunia sudah menurun hingga 40 persen sedangkan jumlah penduduk yang mengkonsumsi pangan terus bertambah.
“Keadaan ini justru menjadi ancaman bagi pangan lokal. Sebagai pengganti gandum, negara maju yang memiliki teknologi pangan akan mengganti dengan pangan lokal. Bukan tak mungkin pangan lokal kita diproses menjadi bentuk-bentuk pangan baru dan dijual kembali ke Indonesia,” tuturnya serius mengakhiri pembicaraan.
* hariansumutpos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar